SITUS RESMI KELUARGA GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA Telp: 02197754096

Tab Menu H

Rabu, 10 Maret 2010

Iran: Negara Islam Yang Paling Maju Dalam Sains

Jurnal Newscientist edisi Kamis (18/2) memuat hasil penelitian Science-Metrix, sebuah perusahaan di Motreal, Kanada yang melakukan evaluasi atas perkembangan dan produk ilmu pengetahuan serta teknologi di berbagai negara. Dalam laporan hasil penelitiannya, Science-Metrix menyebutkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di negara Iran sebelas kali lebih cepat dibandingkan negara-negara lainnya di dunia.

Perusahaan itu mengamati adanya "pergeseran geopolitis dalam bidang ilmu pengetahuan dan karya" yang dihasilkan negara-negara di dunia. Menurut Science-Metrix, banyaknya karya-karya ilmiah yang dimuat di Web of Science menunjukkan bahwa standar pertumbuhan karya ilmiah di Timur Tengah, khususnya di Iran dan Turki, nyaris mendekati angka empat kali lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan di dunia.

"Iran menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat di dunia dalam bidang ilmu pengetahuan. Asia terus mengejar, bahkan lebih cepat dari yang kami pekirakan sebelumnya. Eropa mempertahankan posisinya lebih dari yang diharapkan, dan Timur Tengah adalah kawasan yang patut diperhatikan," kata Eric Archambault yang menulis laporan Science-Metrix.

Ia mengatakan, publikasi karya-karya ilmiah dari Iran kebanyakan tentang kimia nuklir dan tentang fisika partikel. "Iran juga mengalami kemajuan pesat di bidang ilmu kedokteran dan pengembangan pertanian," tukas Archambault.

Ia menambahkan, perkembangan teknologi di Iran pada tahun ini sangat cepat bahkan melampaui negara China yang oleh dunia diakui cemerlang dalam bidang sains .

Meski lebih dari 30 tahun diembargo Barat, Iran telah melakukan langkah besar di berbagai sektor, termasuk sektor ruang angkasa, nuklir, kedokteran, penelitian tentang sel dan kloning. Tanggal 2 Februari kemarin, Iran berhasil meluncurkan satelit yang diberi nama Kavoshgar 3 ke ruang angkasa. Satelit itu membawa berbagai organisma hidup seperti tikus, dua ekor kura-kura dan cacing untuk keperluan penelitian.

Sebelumnya, di bulan Januari, Iran menjadi negara pertama di Timur Tengah yang mampu mengembangbiakkan hewan ternak transgenik, seperti domba dan kambing. Iran juga tercatat sebagai salah satu negara dari sedikit negara yang berhasil mengembangkan teknologi dan perangkat untuk mengkloning hewan ternak yang bisa digunakan untuk keperluan penelitian di bidang kedokteran dan untuk memproduksi zat antibodi manusia untuk menangkal penyakit.

Anak domba bernama Royana dan dua sapi bernama Bonyana dan Tamina adalah hewa-hewan hasil kloning pertama di Iran.
Iran merupakan negara yang cukup dimusuhi oleh mantan presiden Amerika, George W Bush. Mungkin karena kekuatan militernya dan kedudukan geopolitiknya. Tulisan saya hanya menyoroti dari aspek perkembangan sains di Iran, yang juga saya dengar secara langsung dari mahasiswa PhD saya yang kebetulan juga berasal dari Iran.
Mungkin kita menganggap Mesir merupakan negara Islam yang paling maju dalam sains karena sekarang mereka sudah mempunyai 2 orang pemenang Nobel (sastra dan kimia). Namun saya cukup terkejut membaca artikel yang ditulis oleh D. A. King yang dipublikasikan di Nature, edisi 15 Juli 2004 yang berjudul œThe scientific impact of nationsâ yang analisisnya menyatakan bahwa Iran merupakan satu-satunya negara Islam yang termasuk dalam 31 besar negara yang paling maju sains-nya di dunia.

Bagaimana D. A. King sampai pada kesimpulannya tersebut? Di bawah ini diterangkan metoda penilaiannya. Dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, parameter penting untuk menilai “scientific impact” adalah produktivitas; yaitu hanya dari jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal, dan sekarang, parameter yang menentukan kualitas dari hasil penelitian tersebut telah dikuantifikasikan ke dalam parameter yang disebut sebagai “impact factor”. Perhitungan nilai impact factor tersebut didasarkan kepada jumlah rujukan (citation) dari artikel yang telah dipublikasikan. Artinya, jika artikel itu banyak dijadikan referensi di artikel yang lain, maka impact factor-nya menjadi tinggi. Banyak lembaga-lembaga pemberi dana riset dan universitas menggunakan impact factor ini dalam menilai pencapaian dosen, peneliti dan mahasiswa.

Sekarang muncul indikator yang lain yang disebut sebagai “Scientific Impact of Nation” yang diusulkan oleh D. A. King. King telah menganalisis jumlah rujukan (citation) dari artikel yang dipulikasikan dari lebih 8000 jurnal dari 36 bahasa yang diindeks oleh ISI Thomson dari tahun 1993-2001, yang terdiri dari jurnal-jurnal dalam bidang sains dan teknologi. Hasilnya, 31 negara ditemui sebagai penyumbang terbesar terhadap 1% atau lebih dari artikel yang paling banyak dirujuk di dunia. Amerika serikat adalah yang teratas diikuti oleh negara-negara eropa, Jepang, Taiwan, Singapore dan nomor 30: Iran! Iran merupakan satu-satunya negara Islam yang masuk dalam penyumbang terbesar dengan 2152 artikel yang banyak dirujuk di jurnal-jurnal yang dikenal oleh ISI. Jika indikator ini dibandingkan dengan œwealth intensityâ (GNP dibagi dengan jumlah penduduk), Iran menjadi nomor 30, dan Amerika serikat tidak lagi menjadi nomor satu. Yang menjadi nomor satu adalah Swiss, sehingga Swiss dapat dianggap sebagai negara yang paling efektif dan pintar dalam memanfaatkan dana riset dan menghasilkan hasil riset yang bermutu tinggi.


Perkembangan sains di Iran dapat dilihat dari perkembangan publikasi ilmiah yang mereka hasilkan. Sebagai contoh, setelah revolusi Iran pada tahun 1979, jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal internasional menurun, yaitu dari 450 artikel pada tahun 1979 menjadi hanya 120 pada tahun 1980. Tetapi, pada tahun 2002 jumlah itu meningkat 20 kali menjadi 2224 artikel. Iran nomor 15 di dunia dalam penelitian string teory. Hal ini juga berlaku dalam bidang kimia dan matematika. Tidak dapat disangkal, dunia barat terkejut dengan perkembangan sains di Iran ini.

Fenomena yang perkembangan sains di Iran sangat menarik untuk dicermati, dan telah dicoba dijelaskan dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Prof. Farhad Khosrokhavar, profesor sosiologi di E´cole des Hauts E´tudes en Sciences Sociales (EHESS), di Paris yang dimuat dalam Critique: Critical Middle Eastern Studies, (Summer 2004)

Banyak saintis Iran yang berimigrasi ke barat setalah revolusi Iran. Universitas telah ditutup selama 3 tahun pada masa itu. Perang dengan Irak (1980-1988) juga menambah larinya saintis-saintis Iran ke luar negeri. Melihat keadaan tersebut agak mencengangkan melihat Iran dapat bangkit mengejar ketinggalannya.

Melihat kenyataan bahwa revolusi Iran telah menolak sains sebagai produk dari barat, dan mempromosikan sains yang berbasiskan Islam, telah menyebabkan reaksi yang bebeda dari saintis Iran pada masa itu. Sebahagian berhenti bekerja dalam sains dan menukar profesinya, dan sebahagian lagi malah menjadi “lebih kuat dan bersemangat� dalam mengejar idealisme mereka untuk menjadikan Iran sebagai negara Islam yang maju dalam sains dan teknologi. Pada masa-masa sulit tersebut, sekumpulan matematikawan dan fisikawan teoritis berkumpul setiap minggu di University of Tehran’s Institute of Physics. Diantara mereka adalah matematikawan Reza Khosroshahi, Hosein Zia, dan fisikawan Farhad Ardalan, Firooz Partovi, Hesam ed dine Arfa, and Reza Mansouri dan beberapa professor dari universitas di luar Tehran. Mereka inilah yang membangkitkan kegiatan saintifik di Iran. Yang menarik adalah, kumpulan diskusi ini disatukan dengan ide yang tidak ada sangkut pautnya dengan politik, mereka disatukan dengan ide mengenai keunggulan saintifik! Inilah idealisme mereka. Mereka memilih untuk tidak masuk dalam perdebatan politik dan hanya memikirkan dan berusaha bagaimana mencapai keunggulan dalam sains.

Terdapat dua generasi saintis di Iran yang terkait dengan perkembangan sains di Iran. Generasi pertama dianggap sekuler, dan kebanyakan mereka mendapat pendidikan di barat. Mereka tidak sensitif terhadap terhadap revolusi yang terjadi di Iran. Generasi kedua merupakan generasi yang terlibat dalam revolusi yang menentang rezim Shah Iran. Generasi kedua inilah yang merupakan generasi penggerak dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Iran. Atas inisiatif merekalah program doktor (PhD) pertama dibuka di Iran. Dengan dibukanya program PhD ini, barulah timbul kepercayaan diri, bahwa Iran mampu menghasilkan hasil-hasil penelitian yang bermutu tinggi. Institualisasi dari penelitian ilimiah dalam bidang sains juga dimulai dengan program PhD ini. Dengan banyaknya artikel yang bermutu tinggi yang dipublikasikan, dapat dicatat bahwa bahwa mereka telah berhasil menanamkan idealisme keunggulan dalam sains kepada mahasiswa-mahasiswa mereka. Lembaga yang terkenal dalam menghasilkan sainstis tersebut adalah Zanjan Institute of Advanced Studies in Basic Science (IASBS) and Institute for Theoretical Physics and Mathematics (IPM) di Tehran, dan juga di Sharif University of Technology, University of Tehran dan University of Shiraz.

Jadi idealisme dalam mengejar keunggulan sains merupakan kunci keberhasilan Iran dalam memajukan sains, sehingga sekarang Iran termasuk ke dalam negara memiliki The scientific impact of nationsâ tertinggi di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PILIH KATAGORI ANONYMOUS UNTUK BERKOMENTAR