SITUS RESMI KELUARGA GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA Telp: 02197754096

Tab Menu H

Rabu, 10 Maret 2010

Negara Maju Membangkang Soal Dana Perubahan Iklim


http://international.okezone.com Banyak negara maju membangkang, tidak mau membayar pendanaan untuk perubahan iklim. Padahal klausul itu telah menjadi komitmen mereka sesuai kesepakatan Bali Action Plan (BAP) yang dihasilkan pada pertemuan UNFCCC ke-13 di Indonesia akhir 2007 silam.

"Kalau disuruh bayar banyak alasannya, sampai sekarang belum bayar, penundaan pendanaan perubahan iklim oleh negara maju, jelas bakal menghambat negara miskin dan berkembang dalam mengatasi dampak perubahan iklim," kata Ketua harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar, usai memberikan sambutan pada simposium bertajuk Asia Pasifik Global On Earth Observation System of Systems di Sanur Paradise Palaza Hotel and Suite, Denpasar, Bali, Rabu (10/03/2010).

Rachmat menyatakan, meski telah beberapa kali didesak berbagai cara sampai saat ini, negara-negara maju belum menunjukkan keseriusannya membantu pendanaan. "Saat ditanyakan pada pertemuan di Kopenhagen tahun 2009, mereka tetap belum mau membayar," katanya prihatin.

Dalam simposium yang dibuka oleh Menteri Riset dan Teknologi Suharma Surapranata itu,  dihadir 26 negara di kawasan Asia Pasifik. Suharma menekankan pentingnya alih dan peran teknologi dalam upaya membantu mengantisipasi perubahan iklim yang mengakibatkan peningkatan polusi emisi karbon.

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah mengusulkan kelembagaan pendanaan baru yang terstruktur dalam satu mekanisme besar dan terdiri dari beberapa pendanaan khusus "specialized funding windows"untuk mitigasi, adaptasi, pengembangan kapasitas dan alih teknologi serta REDD "reducing emission from deforestation and forest degradation".

Indonesia sendiri telah menyiapkan pendanaan unilateral dalam perubahan iklim di dalam negeri, dengan mengalokasikan dana sebesar USD500 juta untuk penanganan masalah perubahan iklim di tingkat nasional.

Rachmat menyinggung apa yang disampaikan Presiden SBY untuk menekan emosi karbon hingga 26 persen itu, merupakan satu paket pencapaian yang dilakukan secara bertahap hingga 2020. Dikatakan, target menekan emisi karbon 26 Persen, terdiri sektor energi enam persen, sektor pengolahan limbah bisa ditekan enam persen, serta 14 persen lainnya diharapkan bisa ditekan dari pengelolaan lahan hutan.

"Kita terus lakukan pemantauan hotspot di (titik api) kebakaran hutan pada 2007 hingga 2009, diharapkan bisa berkurang jumlahnya," kata Rachmat. Saat ini pemerintah menaruh perhatian terhadap keberadaan hutan-hutan seperti di wilayah Jambi, Sumatra Selatan, Papua yang diharapkan bisa menekan dampak emisi karbon.

Dengan teknologi yang ada saat ini,ujar Rachmat bakal mampu melakukan pemetaan kawasan hutan-hutan yang berpotensial untuk menyelamatkan dari bahaya emisi. "Dengan memanfaatkan satelit teknologi penginderaan jauh "remote sensing", bisa diketahui hutan-hutan yang masih potensial seperti hutan gambut atau hutan industri," terang Rachmat.

Bahkan dengan teknologi tersebut, bisa terdeteksi lokasi yang terjadi "illegal logging" maupun kebakaran dari jarak beberapa meter saja. Mantan Menteri Lingkungan Hidup menyatakan, hutan potensial yang ada saat ini, sekira 60 persen atau sekitar enam juta hektare (Ha) akan mampu menahan dampak emisi karbon.

Pemerintah juga berupaya menyiapkan sumbangan teknologi untuk mengantisipasi perubahan iklim seperti lewat teknologi informasi tentang bagaimana cara-cara beradaptasi penyesuaian terhadap perubahan iklim. "Kami juga berikan beberapa varietas padi yang baik, hutan-hutan yang ada jangan dipotong, ya mungkin butuh enam atau lima tahun lagi baru bisa dirasakan manfaatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PILIH KATAGORI ANONYMOUS UNTUK BERKOMENTAR